MAKASSAR.TV, MALILI – Bawaslu Kabupaten Luwu Timur, Sulsel, tak memberikan ‘tiket’ kepada tim Hukum pasangan calon (paslon) Irwan Bachri Syam-Andi Muh Rio Patiwiri (Ibas-Rio) untuk melanjutkan sengketa pilkada ke peradilan.
Sebelumnya tim Hukum Ibas-Rio melayangkan gugatan terhadap keputusan KPU yang menetapkan petahana Thorig Husler sebagai calon yang diduga melanggar tahapan pilkada terkait mutasi aparatur sipil negara (ASN) 6 bulan sebelum penetapan calon.
Dugaan pelanggaran lainnya antara lain penggunaan program atau wewenang pemerintah daerah oleh petahana dalam masa 6 bulan sebelum penetapan calon oleh KPU. Tetapi, Bawaslu Luwu Timur menyatakan permohonan sengketa pilkada dari pihak Ibas-Rio tidak memenuhi syarat materil.
Bawaslu menolak permohonan sengketa pilkada yang diajukan tim Ibas-Rio dengan alasan tidak memberikan kerugian langsung kepada pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Kedua, Bawaslu Luwu Timur menolak meregister permohonan tim Ibas-Rio karena tidak memenuhi syarat kelengkapan perbaikan yang diminta KPU.
Ketua Bawaslu Luwu Timur, Rachman Atja, mengatakan pihaknya telah memberikan kesempatan tiga hari kepada tim Ibas-Rio untuk melakukan perbaikan. Namun, dalam masa proses perbaikan itu, tim hukum Ibas-Rio tidak mampu memberikan penguatan dalam hal bukti-bukti pelanggaran tersebut.
Bawaslu menggunakan tameng Pasal 23 ayat (4) Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020, tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang, untuk tidak meregister permohonan tim hukum Ibas-Rio .
Putusan Bawaslu Luwu Timur itu pun disayangkan Tim Kuasa Hukum Ibas-Rio. Menurut tim hukum Ibas-Rio, Eko Saputra, seharusnya kasus itu diregister dulu, nanti di tingkat persidangan memutuskan apakah dilanjutkan atau ditolak.
“Bagi kami ini memunculkan pertanyaan bahwa Bawaslu hanya memeriksa struktur dengan dasar tidak memenuhi syarat materiil. Kami sudah melakukan perbaikan hingga batas akhir, tapi belakangan malah tidak bisa diregister,” ujarnya.
Bagaimana tanggapan pengamat politik terkait fenomena pilkada yang terjadi di Pilkada Luwu Timur tersebut? Berikut ulasan pengamat politik, Dr Firdaus Muhammad, MA, yang juga Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Makassar:
Menurut saya, persoalan politik tersendiri, hukum tersendiri. Tetapi karena ini momennya (pemilihan kepala daerah) maka dua hal ini tak terpisahkan juga.
Tak disalahkan bila ada yang menyoal kebijakan-kebijakan (mutasi yang dilakukan balon petahana) kemudian dilaporkan selama memiliki data-data yang menguatkan bahwa proses yang dilakukan petahana itu dianggap pelanggaran.
Tapi kalau terlalu ambisius untuk menganulir (paslon petahana) seperti di Pilwali Makasssar (2018), ini juga perlu diwspadai karena jangan sampai kesannya terlalu dipolitisasi. Kalau itu dilakukan, lebih banyak energi yang akan dihabiskan (pihak pelapor) untuk itu.
Kita juga tidak boleh melakukan pembiaran jika ada pelanggaran. Jadi kuncinya memang ada di penyelenggara, harus memang lebih berhati-hati melihat, tidak melakukan pembiaran terhadap pelanggaran kandidat dalam tahapan pilkada.
Tapi juga tidak kemudian (penyelenggara pilkada) memudahkan pihak yang melapor diakomodir permohonannya karena tendensius, politis begitu.
Penyelenggara juga harus hati-hati karena jangan sampai terkesan berupaya mendiskreditkan kandidat tertentu sehingga terkesan terzalimi.
Bisa saja paslon yang merasa terzalimi menang secara secara hukum tetapi kalah secara politis.
Porsinya ada tersendiri. Tetap kandidat yang merasa dirugikan dapat melaporkan dugaan pelanggaran petahana tetapi jangan berlebihan.
Tetap dilaporkan kalau bicara prosedur. Kalau ditolak ya sudah cukup, jangan habiskan energi terlalu banyak. Kalau itu sebuah pelanggaran (petahana), kemudian melalui meja hijau tidak bisa, ini juga bisa menjadi sanksi sosial.
Bisa juga dia (petahana) justru tidak dapat dihukum di peradilan, tetapi bisa ‘terhukum’ melalui pengadilan masyarakat. Selain itu, selalu ada upaya advokasi-advokasi lain yang bisa ditempuh.
Mutasi-mutasi (ASN) itu memang biasanya ada (jelang pilkada). Efeknya politnya tak bisa dipungkiri, terkait dengan politisasi. Mutasi ASN, ada keuntungan-keuntungan politik di masa injury time.
Harapan kita, supaya mobilisasi ASN itu dihentikan agar netrilitas ASN terjaga untuk mewujudkan pilkada yang damai. Selain itu tetap jaga protokol kesehatan, cegah money politik.
Apalagi di masa pendemi ini, karena penghasilan terbatas ini bisa membuka pintu terjadinya praktik money politik. Ini perlu diputus mata rantainya.(*)
Add comment